Rabu, 22 Februari 2017

KALIAN SUNGGUH “LUARBIASA”

KALIAN SUNGGUH “LUARBIASA”
Liburan semester yang sudah hampir tua ini aku isi dengan mempelajari senjata yang ampuh untuk digunakan dalam dunia persaingan, yah bahasa inggris. Aku memilih pare karena kata kebanyakan orang “jika mau belajar bahasa inggris maka hijrahlah ke Pare, yang terkenal dengan Kampung Ingrrisnya”. 1 bulan selama di Pare menambah banyak kisah dalam hidupku :D. bagaimana tidak mulai dari manusianya, tempatnya dan juga pelajaran yang diambil dari sana, yang awalnya aku akan mengira kalau dipare aku tidak akan betah atau bahkan membosankan tapi malah sebaliknya.
Saya akan memulainya dari camp, ada sekitar 12 manusia disana dan jenis mereka bermacam-macam. Mulai dari manusia jakarta yang bernama lily tapi maunya dipanggil snow white, si “gila” Niki, ulvi, upil, dennis, je, hikmah, hanif, tika, retta, sampai kejenis hyperactive yang bernama rury mahasiswa periwisata. Awalnya gagok banget ya maklumlah namanya juga baru kenal tapi lama-lama keluar semua tuh sifat aslinya keluar juga “keanehan” mereka tapi no problem aku nyaman bareng mereka selama sebulan di camp.
Sekarang lari ke manusia-manusia di kelas, saya gaktau tepatnya ada berapa manusia dikelas tapi yang jelas aku hapal nama-nama mereka. Tak beda jauh dengan manusia-manusia di camp, manusia dikelas juga bervariasi. Ada yang modelnya diem, lucu kayak pelawak, childish juga ada dan kawan-kawannya. Menurutku kedekatan dengan manusia camp dan kelas sama bagaimana tidak, kita bertemu sehari 6 kali dalam kelas yang kadang kelasnya garing haha atau malah dibuat olahraga mulut sama mr pronoun tapi semua itu dibuat mudah karena bersama mereka semuanya terasa indah :D (lebay).
Yang jelas aku senang bisa kenal dengan orang-orang luar biasa seperti mereka. Aku bukanlah tipe orang yang suka “say hello” duluan sama orang. Dulu waktu baru masuk kuliah dalam masa 1 semester gak cukup buat aku kenal dengan anak 1 kelas tapi bersama mereka cukup waktu 2 minggu dan semuanya terasa lovely family. terimakasih sudah menjadi teman, keluarga, dan segalanya selama 1 bulan di Pare.


Senin, 20 Februari 2017

GERAKAN REVOLUSI PEREMPUAN PADA MASA ORDE LAMA HINGGA MASA AWAL ORDE BARU (Studi Pustaka terhadap Tulisan-tulisan tentang Gerwani)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Abad ke-21 menjadi era kebangkitan bagi kaum perempuan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya aksi pemimpin-pemimpin perempuan di seluruh penjuru bumi. Setidaknya, hal inilah yang diungkap Majalah Forbes (6/9/2004) melalui risetnya terhadap 100 perempuan terkuat dan berpengaruh di dunia (The World Most Powerful Women). Dalam riset tersebut, dari 100 perempuan terkuat dan berpengaruh di jagat ini, terdapat 12 perempuan dari kawasan Asia Pasifik yang berasal dari kalangan eksekutif dan politikus, serta empat di antaranya masuk dalam kategori sepuluh besar (Asia’s Power Women). Peringkat tersebut diraih selain karena popularitas, juga didasarkan pada titik kunci percaturan dunia, yakni menyoroti perang melawan terorisme dan sumbangannya terhadap perekonomian global[1].
Sejak masa pergerakan, beberapa perempuan terlibat secara aktif dalam dan tampil sebagai pimpinan pemberontakan melawan penjajah. Jaman kaum perempuan bergerak di Indonesia dibuka oleh pikiran R.A. Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan seperti Putri Mardika (1912), Jong Java Meiskering, Wanita Oetomo, Wanito Muljo, serta Aisyiah (1917). Pembentukan Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) pada Kongres Perempuan I tahun 1928 bisa menjadi indikator kuatnya gerakan perempuan di masa prakemerdekaan[2] dan gerakan wanita sedar (GERWIS) yang berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) 1950 serta Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), serta Kowani dan Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Sebenarnya gerakan-gerakan ini mempunyai peran yang cukup penting dalam merebut kemerdekaan dan mempunyai relasi yang cukup baik dengan negara. Akan tetapi, tidak semua agendanya diakomodasi oleh negara. Tuntutan penghapusan poligami misalnya, tetap diabaikan. Hal ini merupakan konsekuensi subordinasi perjuangan gender interest di bawah proyek nasionalisme yang harus ditanggung gerakan perempuan. Padahal gerakan perempuan ini cukup gigih, militan, dan aktif memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan usaha-usaha new colonialism dan imperialisme. Begitu pula organisasi sosial keagamaan lainnya seperti Fatayat (NU), Wanita Katholik, Aisyiah (Muhammadiyah) dan sebagainya. Namun, sejak 1 Oktober 1995, sejarah panjang ini terputus dan terjadi arus balik gerakan perempuan di Indonesia tatkala Gerwani dihancurkan pada tahun 1965. Selanjutnya, organisasi perempuan seolah membisu, keberpihakan kepada kaum lemah menguap begitu saja karena takut dicap sebagai “organisasi kiri” yang diidentifikasikan dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang “dianggap liar dan tak bermoral[3].
Gerwani sebagai salah satu gerakan perempuan di Indonesia, yang notabene merupakan negara Selatan mengadopsi konsep sosialis. Berbeda dengan gerakan perempuan di negara–negara maju yaitu negara utara yang lebih mengusung feminisme radikal, Gerakan perempuan negara-negara Selatan lebih berorientasi Sosislais. Biasanya gerakan perempuan di negara-negara yang berada dalam proses perubahan sosialis mendapatkan dukungan penuh dari seluruh aparat negara, seperti federasi Perempuan Tiongkok di China[4]
Gerwis atau gerwani memiliki tujuan bersama bagi kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktek feodal. Semangat komunisme menjadi basis perjuangan dalam membangun gerakan perempuan. Meskipun tidak semua anggota mempunyai pemahaman tentang komunisme, namun tak jarang dari mereka didukung oleh para suami yang mempunyai keanggotaan di PKI. Dalam konggres pada Desember 1951 nama Gerwis kemudian diubah menjadi Gerwani. Hak perempuan dan anak-anak menjadi tema konggres ini. Selain itu, peralihan nama menjadi Gerwani semakin menjadikan Gerwani sebagai organisasi yang inklusif, semua agama, sektarian boleh masuk ke wadah oraganisasi ini. Selanjutnya gerakan strategis Gerwani sudah masuk pada kebijakan politis. Kritisi terhadap Undang-undang Perkawinan yang dinilai lebih merugikan kaum perempuan mrnjadi arah strategi organisasi. Selain itu resolusi Gerwani pada Konggres yang kedua tahun 1954 juga diarahkan pada upaya pemilihan umum (Pemilu), keamanan nasional dan protes terhadap percobaan nuklir[5].
Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, membawa implikasi politik bagi gerakan komunisme. Isu pembantaian dan pemberontakan yang ditujukan pada PKI menjadikan organisasi komunis ini sebagai kambing hitam. Stigma penghianat pancasila dan pemberontak yang disandangkan pada PKI, menjadikan PKI sebagai momok menakutkan. Kampanye kebiadaban PKI yang digulirkan oleh Orde Baru merasuk sampai pada jiwa manusia Indonesia yang paling dalam. Selain itu, PKI juga dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan dengan perilaku seksual buruk perempuan komunis. Sehingga masyarakat hanya bisa diselamatkan dengan pembersihan komunisme secara tuntas dan dengan menempatkan kembali simbol perempuan pada posisi yang lebih rendah. Depolitisasi gerakan perempuan pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan yang tanpa kontrol hanya akan melahirkan perempuan-perempuan kejam biadab seperti gerwani. Gerakan perempuan akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum lemah lembut dan non-politis dilakukan di mana-mana[6], sekiranya hal itulah yang ditanamkan orde baru. Orde baru menjadi masa stagnasi bagi gerakan perempuan. Berbagai stigma dan prasangka disandangkan pada para perempuan yang melampaui kodrat mereka sebagai wanita. Titik kulminasinya adalah matinya gerakan perempuan dalam proses perjuangan dan emansipasi.
Gerakan-gerakan perempuan ini tidak terlepas dari gerakan nasional. setiap partai dan organisasi nasional dari yang berhaluan nasionalis, Islam hingga kiri membangun organ sayap peremouannya sendiri, misalnya saja sarekat rakyat. Organisasi di era 1930-an cukup masif dalam mengorganisir demonstrasi-demonstrasi politik buruh perempuan, menuntut peningkatan upah, dan lain sebagainya. Salah satu diantara aksinya yang fenomenal pada tahun 1926 disemarang menuntut perbaikin kondisi kerja buruh perempuan.[7]
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Gerwani ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, maka Tujuan Penelitian dalam penelitian ini mengetahui perjuangan yang dilakukan oleh Gerwani
1.4    Manfaat Peneitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
·       Manfaat Teoritis
a.    Bagi peneliti selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan referensi pada penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini.
b.    Bagi peneliti sendiri merupakan hal yang sangat bermanfaat dalam menambah dan memperluas pengetahuan tentang suatu kondisi pergerakan perempuan yaitu Gerwani. Sehingga dalam hal ini peneliti tidak hanya sekedar asyik mebaca dan  terbawa alur cerita melainkan mampu menganalisa permasalahan yang ada dalam bacaan sesuai dengan perspektif sosiologi.
·       Manfaat Praktis
a.    Dapat menjadi masukan bagi masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan itu tidak layak menduduki posisi yang setara dengan laki-laki untuk menafikan pemahaman tersebut. Dengan begitu, masyarakat menjadi semakin kritis akan adanya ketidaksetaraan hak kemanusiaan. Jadi, prinsip keterbukaan akses ruang publik bagi perempuan dapat terbuka dengan seluas-luasnya.
b.    Bagi pemerintah daerah dan instansi-instansi terkait khususnya yang bergerak di bidang perempuan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan bagi nasib perempuan. Harapannya nasib perempuan ke depan menjadi lebih mendapatkan hak-hak kemanusiaannya dan menjadikan perempuan sebagai pihak yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam mengoptimalkan pembangunan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Gerakan Sosial-Sydney Tarrow
Salah satu teoritisi terkemuka Sydney Tarrow (1998), mendefinisikan bahwa gerakan sosial adalah tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang kekuasaan.[8]
     Tarrow (1998) menempatkan gerakan sosial di dalam kategori yang lebih umum tentang politik perlawanan (contentius politics). Politik perlawanan bisa mencakup gerakan sosial, siklus penentangan (cyclus of contention) dan revolusi. Politik perlawanan terjadi ketika rakyat biasa bergabung dengan orang-orang yang lebih berpengaruh, menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Perlawanan seperti ini biasanya muncul ketika kesempatan dan hambatan politik tengah berubah dan menciptakan dorongan bagi aktor-aktor sosial yang kurang memiliki sumber daya pada dirinya sendiri. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah gerakan sosial.[9]

2.2 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mursidah Mahasiswa Program Magister Pendidikan IPS Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dengan judul Gerakan Organisasi Perempuan Indonesia Dalam Bingkai Sejarah berkesimpulan bahwa Kartini mempunyai cita-cita untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan dan kemiskinan. Pemikiran Kartini ini banyak mengilhami gerakan perjuangan perempuan sesudahnya. Tercatat beberapa organisasi perempuan yang hadir pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, antara lain Poetri Mardika (1912), Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun-PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924), Isteri Sedar (Bandung, 1930). Namun, secara keseluruhan organisasiorganisasi ini masih bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi perempuan itu bergelut mencari upaya untuk memperbaiki keadaan kaum perempuan dan mengubah tatanan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas. Pasca kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan tumbuh, selain juga ada yang merupakan kelanjutan dari organisasi perempuan di masa kolonial dan menjadi berkembang sesudahnya.
Gerakan feminisme telah mempopulerkan analisis gender dalam mengamati berbagai fenomena sosial. Upaya membebaskan kaum perempuan dari ketidakadilan merupakan perjuangan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan egaliter. Sebab, hak-hak politik, sosial, dan ekonomi perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kerangka hak asasi manusia, sehingga gerakan perempuan dapat berperan strategis untuk menguatkan gerakangerakan perlawanan (gerakan sosial) masyarakat, sebagai agen untuk memperjuangkan hak-hak demokratis, keadilan dan pembebasan rakyat. Dalam menganalisis persoalan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, hendaknya tidak melihat bahwa laki-laki sebagai musuh perempuan, melainkan akar permasalahannya.adalah patriarki sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan yang dilanggengkan oleh sistem kapitalisme.[10]
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh mursidah dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah, peneliti terdahulu meneliti tentang gerakan perempuan yang ada sejak tahun 1912 hingga masa orde baru mulai sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah memfokuskan pada Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani sejak masa orde lama hingga masa awal orde baru.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan peneliti adalah sama-sama meneliti tentang gerakan revolusi perempuan dari masa kemasa.



BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan petimbangan bahwasanya peneliti mencoba menjelaskan gambaran secara menyeluruh tentang Gerakan Revolusi Perempuan yaitu Gerwani. Sehingga dengan pendekatan ini mampu menjelaskan permasalahan tersebut dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data yang berupa kata-kata dari berbagai sumber referensi (literatur) yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
Penelitian kualitatif didasarkan dengan upaya membangun pandangan objek yang diteliti, dirinci dan dibentuk dengan kata-kata gambaran secara holistik dan rumit. Oleh karena itu, dalam penelitian ini faktor kedalaman dan kekayaan atas sebuah data yang diteliti pada beberapa litertur sangat diperlukan. Penelitian ini tidak membutuhkan wawancara sehingga kemampuan peneliti itu sendiri sangat diperlukan mengingat bahwa peneliti adalah instrumen dalam penelitian ini. Jadi, pemanfaatan kekayaan data dari sumber literutur sangat diperlukan.
Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, penelitian ditujukan untuk mencari dan memahami secara mendalam tentang representasi feminismegerakan revolusi perempuan dalam hal ini difokuskan pada Gerwani dalam memperjuangkan hak-hak yang telah diselewengkan di masa orde lama hingga awal orde baru dengan segala keterbatasan kemampuannya. Kedua, berdasarkan mekanisme penelitian yang dilakukan, yaitu berpijak pada data-data penelitian, kemudian disimpulkan.
Pada dasarnya jenis penelitian ini menggunakan metode studi wacana yang berusaha memahami fenomena perilaku manusia melalui sebuah rekaman-rekaman peristiwa yang tertulis dalam subuah karya. Dengan penggunaan metode studi wacana, penelitian ini akan mampu mengungkap bagaiman gerakan revolusi perempuan yaitu Gerwani untuk meperjuangkan hak-haknya yang telah diselewengkan. Penelitian juga mampu memberikan kekayaan data melalui kekayaan referensi (bacaan) yang digunakan dalam mengkaji topik yang berkaitan dengan penelitian ini.[11]
2.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan peneliti berdasarkan kebutuhan dalam penganalisisan dan pengkajian objek yang diteliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini sudah dilakukan sejak peneliti menentukan masalah yang dikaji. Pengumpulan data yang dilakukan adalah:
1.      Penelitian pustaka dengan mengkaji dan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dikaji.
2.      Penelusuran data secara online, yaitu menelusuri data dari media online seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Peneliti memilih sumber-sumber data online yang kredibel dan dikenal banyak kalangan.
4.3 Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis wacana yang dikembangkan oleh Sara Mills. Mills berbeda dengan analisis dari tradisi critical linguistic yang memusatkan perhatian pada struktur kata, kalimat atau kebahasaan, tetapi melihat bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Dengan kata lain Sara Mills melihat posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan yang menjadi objek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan.[12]
Selain posisi aktor atau posisi subyek-obyek, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Mills menganggap pembaca merupakan bagian penting yang mempengaruhi teks. Pembaca tidak dianggap sebagai yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana yang terlihat dalam teks.[13]
Dalam membangun teorinya mengenai posisi pembaca Mills memakai analisis Althusser. Gagasan Althusser menempatkan posisi pembaca yang dihubungkan dengan bagaimana penyapaan penyebutan yang dilakukan dalam teks. Ini akan membantu peneliti dalam memaknai teks, produksi dari teks, dan pemaknan yang disesuaikan dengan tingkat posisi subjek-objek dalam teks dan posisi penulis serta pembaca.[14]



BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Berdirinya Gerwani
Sejarah berdirinya gerwani diwarnai dengan proses yang panjang dalam kurun waktu 4 hingga 5 tahun sejak organisasi Gerwis pertama kali berdiri sebelum kemudian bermetamorfosis menjadi Gerwani. Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang, sebuah kota yang secara historis memiliki ‘nilai’ lantaran PKI didirikan di kota ini. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membuat organisasi perempuan bersama yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah Rukun Putri Indonesia (Rupindo, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Isteri Sedar (Bandung), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan). Para pendiri Gerwis ini berasal dari latar belakang sosial berbeda, bahkan banyak di antaranya dari keturunan priayi rendah. Terdapat pula beberapa orang yang pernah ambil bagian dalam gerakan bawah tanah dengan ilham komunisme. Semua pendiri ini adalah para perempuan yang  terjun dalam gerakan nasional, bahkan banyak diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pertemuan  tersebut disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah.[15]
Konstitusi yang dirumuskan Gerwis adalah menegaskan diri sebagai organisasi non politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Namun, secara tak langsung PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis. Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis.[16]
Kongres pertama Gerwis berada dalam masa yang sulit mengingat beberapa anggotanya masih berada dalam penjara. Dalam kesempatan ini, komponen komunis dan feminis bercampur dalam satu organisasi, lalu beberapa langkah diambil untuk mengucilkan sayap feminis sebagaimana direpresentasikan oleh S.K. Trimurti (istri dari Sayuti Melik, tokoh penting dalam Proklamasi Kemerdekaan 1845, yaitu pengetik naskah Proklamasi). Trimurti mengundurkan diri dari pencalonan, 1957 ia menarik diri dari jajaran pimpinan, 1965 ia keluar dari keanggotaan.[17]
Kongres kedua Gerwis pada tahun 1954 mengubah dirinya menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono yang juga merupakan anggota PKI sebagai ketuanya. Perkembangan pesat tampak mencolok. Di Surabaya, Gerwis memiliki  40 cabang dengan 6.000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah mencapai 80.000 orang. Dalam hal ini ada arah yang berubah dari Gerwani, yakni dari organisasi kader menjadi organisasi massa. Tawaran dilakukan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya berasal dari keluarga Pamong Praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi sehari-hari.[18]
Gerwani ingin mengubah dirinya betul-betul menjadi organisasi massa dengan skala nasional lebih luas. Untuk itu Gerwani memfokuskan diri pada bagaimana memimpin gerakan yang lebih luas, membangun gerakan massa sebagaimana garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan. Gerwani juga merambah partisipasi dalam politik nasional seperti terlibat dalam Trikora, perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu.[19]
Dari sini mulai ditemukan titik jelas bahwa Gerwani sebagai organisasi pergerakan perempuan yang memiliki militansi kuat di antara pengikutnya. Hal tersebut juga tak bisa dilepaskan dari ideologi yang mewarnai garisnya. Feminisme, sosialisme, dan nasionalisme. Gerwani membuat rumusan bagaimana kondisi perempuan kala itu yang “setengah kolonial setengah feodal” sesungguhnya adalah gerakan perempuan yang independen tidak berafiliasi atau menjadi underbouw partai politik manapun dukungan PKI sangat kuat didalamnya. Bahkan, periode antara kongres pertama dan kedua itulah Gerwani dapat dikatakan walaupun paling menampakkan ideologi feminisnya. Sementara pada ranah Sosialis jelas sekali bagaimana Gerwani mampu kerjasama dan mengorganisir dirinya dengan BTI dan SOBSI untuk menuntaskan kasus-kasus upah rendah di kalangan buruh perempuan. Pada pandangan politik secara umum terberbingkai nasionalisme.[20]

4.2  Perjuangan Gerwani
Banyak hal yang diperjuangkan oleh gerwani seperti tuntutan untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan yang pada waktu itu dirasakan diskriminatif menjadi demokratis terus diperjuangkan. Selain itu Gerwani juga berada di garda depan dalam merumuskan garis perjuangan menuntut upah yang adil bagi buruh perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, menuntut penyediaan lapangan pendidikan yang baik bagi perempuan, menuntut pemberian fasilitas penitipan anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus perkosaan, trafficking, serta merumuskan pembagian kerja yang adil antara suami dan istri di dalam rumah tangga.[21] Gerwani juga mengadvokasi seorang perempuan bernama Maisuri, yang dipenjara karena menolak kawin paksa dan memilih lari dengan pacarnya. Gerwani juga mengecam dan mengusut tuntas kasus pembunuhan Attamini, seorang perempuan dari keluarga miskin di Malang, oleh seorang pedagang kaya keturunan Arab.[22]
Gerwani juga melakukan gerakan pengentasan buta huruf dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan yang belum bisa membaca. Dan untuk keberlangsungan organisasi, anggota yaitu para perempuan yang tergabung dalam Gerwani setiap bulan melakukan arisan dan iuran wajib untuk mendanai segala aktivitasnya.[23]
Dalam memperjuangkan pembebasan wanita Indonesia dari segala belenggu penindasan yang ada, Gerwani mengeluarkan beberapa sikap politik seperti menolak poligami, menolak perkawinan dibawah umur, menolak kekerasan seksual terhadap wanita serta memperjuangkan hak waris bagi wanita. Terkait masalah poligami, Gerwani juga turut membantu program PKI, untuk menyelesaikan beragam problema seiring dengan perintah partai kepada seluruh  fungsionaris dan kadernya  yang berpoligami untuk mengakhiri pernikahan poligaminya jika ingin tetap bergabung dalam partai. Sama dengan Gerwani, PKI juga menolak poligami dan melarang keras anggotanya berpoligami. Mereka menganggap poligami sebagai cerminan dari sisa budaya feodal yang menindas kaum wanita.[24] Gerwani juga aktif menentang pornografi dan memboikot film-film yang merendahkan martabat perempuan. Pada tahun 1950-an, Gerwani aktif berkampanye menentang film-film yang mempromosikan kebudayaan imperialis, terutama film-film Amerika Serikat (AS). Salah satu film yang diprotes berjudul Rock ‘n Roll, yang dianggap bisa meracuni pikiran anak-anak muda. Film lain yang diprotes seperti Rock Around the Clock (1956) dan Don’t Knock the Rock. Selanjutnya, dalam kerangka melawan kebudayaan imperialis, Gerwani mendukung berdirinya Lembaga Film Rakyat.[25] Gerwani juga turut mendukung secara langsung perjuangan kaum tani dalam mempertahankan hak-haknya atas tanah dari pencaplokan yang dilakukan aparat negara dan perusahaan perkebunan, seperti  pada kasus Tanjung Morawa, Sumatera Utara (1955) dan kasus Jengkol, Kediri (1957). Dalam berbagai konflik agraria itu, beberapa pengurus Gerwani terlibat langsung dalam perlawanan kaum tani di lapangan.[26]
Pada tahun 1957, Gerwani aktif mendukung gerakan buruh untuk menasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan milik Belanda. Langkah ini sekaligus upaya pemerintahan pada masa orde lama yang di pimpin oleh soekarno untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial. Dalam kampanye nasionalisasi terhadap perusahaan minyak Caltex, Gerwani menggalang pembantu rumah tangga untuk memboikot majikan mereka. Aksi itu meluas ke restoran dan toko-toko untuk menolak melayani orang asing. Disamping itu Gerwani aktif menentang pemberontakan PRRI/Permesta, yang dibelakangnya adalah kepentingan imperialisme AS. Bagi Gerwani, meneruskan revolusi berarti melawan PRRI/Permesta. Pada tahun yang sama yaitu 1957, Gerwani mendukung aktif perjuangan bangsa Indonesia untuk mengusir kolonialisme Belanda di Irian Barat. Gerwani bahkan mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawati untuk pembebasan Irian Barat. Tak hanya itu, Gerwani memobilisasi 15.000 wanita ke Istana Negara, saat peringatan Hari Perempuan Sedunia, 1 Maret 1961, untuk menentang pembentukan negara boneka Papua oleh kolonialis Belanda. Sekitar dalam kurun tahun 1960-an, Gerwani berkampanye untuk ketersediaan pangan dan sandang bagi rakyat. Tak hanya itu, gerwani rajin melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kenaikan harga bahan pokok. Salah satu demonstrasi besar yang digalang Gerwani untuk menolak kenaikan harga terjadi pada tahun 1960. Pemerintah orde lama merespon aksi tersebut dan berjanji menurunkan harga dalam tiga tahun.[27] Pada tahun selanjutnya yaitu tahun 1961, anggota organisasi Gerwani mencapai lebih dari satu juta orang. Warung-warung koperasi dan koperasi simpan-pinjam kecil-kecilan didirikan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar, perkebunan-perkebunan, kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah ini. Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada berbagai tingkat organisasi dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tulisan Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Soekarno. Pada kesempatan ini juga diajarkan keterampilan teknis misalnya tata buku dan manajemen. Hal penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia.[28]
 Tahun 1962, Gerwani mendukung politik Bung Karno untuk mengganyang negara boneka bentukan Inggris di Malaya, yakni federasi Malaysia. Tak hanya berkampanye dan menggelar aksi demonstrasi, Gerwani juga menyetorkan anggotanya untuk menjadi sukarelawati dan dipersiapkan untuk dikirim dalam operasi Trikora. Selain itu Gerwani aktif berkampanye untuk pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Gerwani menuding korupsi sebagai salah satu biang kerok kenaikan harga-harga. Beberapa aksi demonstrasi yang digalang Gerwani berisi tuntutan penghapusan korupsi dan retoolingaparatur negara. Dalam hal kesetaraan gender di bidang politik Gerwani berkampanye tentang perlunya gerakan politik perempuan dan mendorong perempuan masuk ke gelanggang politik. Gerwani berharap lebih banyak wanita yang menjadi anggota DPR dan DPRD, kepala desa, Bupati, Gubernur, Menteri, dan lain-lain. Pada pemilu 1955, sejumlah pimpinan Gerwani masuk daftar calon anggota DPR melalui PKI, seperti Salawati Daud, Suharti Suwarto, Ny. Mudigdo, Suwardiningsih, Maemunah, dan Umi Sardjono. Gerwani aktif dalam Gerakan Perempuan Internasional, khususnya melalui Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS). Melalui GWDS, Gerwani berkampanye tentang penghentian perlombaan persenjataan, pelarangan percobaan senjata atom, mempromosikan perdamaian dunia dan menentang perang, mendukung Konferensi Asia Afrika, penghapusan apartheid, penghapuasan diskriminasi rasial dan fasisme, dan mengecam agresi imperialis di berbagai negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan lain-lain. Gerwani mendukung konsep Bung Karno mengenai Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945.[29]

4.3  Pembubaran Gerwani
Beberapa hari setelah meletus peristiwa G30S, harian militer Berita Yudha memajang kliping penggalan koran sayap kiri. Koran sayap kiri seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti dan Suluh Indonesia ketika itu memuat berita yang berseberangan dengan versi media militer.  Harian Rakyat edisi 2 Oktober berjudul Letkol Untung, Komandan Bataljon Tjakrabirawa menyelamatkan Presiden dan RI dari kup Dewan Djendral. Judul hampir serupa juga dimuat Warta Bhakti terbitan 1 Oktober. Tiga hari setelah terbitan Berita Yudha, muncul instruksi Menteri Penerangan Mayor Djenderal Achmadi yang melarang penerbitan surat kabar yang dianggap kiri terhitung 6 Oktober 1965. Media yang dilarang adalah Harian Rakyat, Warta Bhakti, dan Suluh Indonesia. Sejak saat itu, pemberitaan media massa dikuasai oleh tulisan tentang stigma kengerian Gerwani yang diawali laporan dari harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.Beberapa pemberitaan media massa kala itu berbunyi, “Matanya dicungkil.” (Angkatan Bersenjata, 6 Oktober 1965), “Ada yang dipotong tanda kelaminnya.” (Berita  Yudha, 10 Oktober 1965).[30] Selain itu ada lagi propaganda yang dilakukan dengan menyebut bahwa gerwani telah melakukan tarian harum bunga. Tarian harum bunga merupakan propaganda yang disebarkan secara resmi oleh aparat. Propaganda ini tersebar luas berbarengan dengan gerwani disebut menyiksa tujuh perwira angkatan darat dengan menusuk-nusuk mereka dan menyileti alat vitalnya.[31]
Sejak pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, sangat mengimplikasi politik bagi gerakan komunisme. Isu pembantaian dan pemberontakan yang dialamatkan pada PKI menjadikan organisasi komunis ini sebagai kambing hitam. Stigma penghianat pancasila dan pemberontak yang disandangkan pada PKI, menjadikan PKI sebagai partai terlarang. Selain itu, PKI juga dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan dengan perilaku seksual buruk perempuan komunis. Sehingga masyarakat hanya bisa diselamatkan dengan pembersihan komunisme secara tuntas dan dengan menempatkan kembali simbol perempuan pada posisi yang lebih rendah. Depolitisasi gerakan perempuan pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan yang tanpa kontrol hanya akan melahirkan perempuan-perempuan kejam biadab seperti gerwani. Gerakan perempuan akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum lemah lembut dan non-politis dilakukan di mana-mana. Pemerintah melalui figur Soeharto, ditampilkan sebagai satu-satunya kekuatan tunggal yang mampu memulihkan dan memelihara ketertiban masyarakat. Hal ini dilanggengkan dengan cara mereproduksi secara terus menerus mitos binatang komunis yang sesat. Subordinasi perempuan berupa penggambaran perilaku perempuan yang ”patut”, menjadi pilar masyarakat orde baru di mana Gerwani digambarkan dengan perilaku tanpa aturan dan merusak moral. Pada dataran inilah, politik hegemoni kekuasaan bermain.[32]

4.4  Analisis Teori
Dalam teori gerakan sosial yaitu tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang kekuasaan. Gerwani melakukan gerakan sosial yang didasarkan atas tujuan bersama dan solidaritas sesama perempuan. Tujuan bersama itu muncul ketika timbul perasaan terintimidasi yang dialami oleh kaum perempuan. Maka dari itu Gerwani sering kali menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa pada saat itu Orde Lama karena tidak pro terhadap perempuan.
Tarrow menempatkan gerakan sosial di dalam kategori yang lebih umum tentang politik perlawanan (contentius politics). Politik perlawanan bisa mencakup gerakan sosial, siklus penentangan (cyclus of contention) dan revolusi. Politik perlawanan terjadi ketika rakyat biasa bergabung dengan orang-orang yang lebih berpengaruh, menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Meskipun Gerwani menyatakan dirinya bukan organisasi politik namun banyak perjuangannya yang berhubungan dengan politik Indonesia pada masa itu. Gerakan perlawanan juga banyak dilakukan Gerwani dalam memperjuangkan hak perempuan dan bersifat revolusioner. Perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerwani berasal dari berbagai macam kalangan. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah gerakan sosial. Gerwani yang merupakan underbow dari PKI tentu banyak mendapat dukungan dari PKI selain itu Gerwani juga mendapat dukungan penuh dari Soekarno sebagai presiden pada masa Orde Lama.


4.5   
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gerwani merupakan organisasi perempuan yang muncul pada tahun 1950-an. Gerwani bergerak dalam berbagai bidang mulai dari pendidikan seperti membantu perempuan-perempuan terutama yang tinggal di pedesaan agar mendapat pendidikan hingga kasus pelecehan terhadap perempuan serta kesetaraan gender dalam hal apapun. Gerwani merupakan organisasi underbow dari PKI yang juga didukung oleh soekarno. Sejak bergantinya Orde Lama ke Orde Baru PKI dan segala hal yang berhubungan dengan PKI di musnahkan sehingga secara otomatis Gerwani juga di musnahkan karena PKI dan hal yang berhubungan dengan PKI juga dianggap sebagai penghianat pancasila.
Relasi gender di Indonesia kemudian ditata secara kasar. Perjuangan gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan dalam politik serta menyerukan simbol perempuan sebagai “Srikandi” dianggap sebagai sesuatu yang melanggar kodrat perempuan. Perempuan kemudian dikembalikan pada wilayah domestik rumah tangga. Dengan regulasi secara sosial dan norma, perempuan digiring untuk tidak ikut campur pada ranah publik dan politik. Orde baru menjadi masa stagnasi bagi gerakan perempuan. Berbagai stigma dan prasangka disandangkan pada para perempuan yang melampaui kodrat mereka sebagai wanita. Berbagai gerakan perempuan, gerakan subversif diberangus. Titik ini merupakan matinya gerakan perempuan dalam proses perjuangan dan emansipasi. Era reformasi sudah semestinya menjadi momentum bagi gerakan perempuan untuk bangkit dan berjuang. Keterbukaan dan kebebasan dalam segala aspek, menjadi pemantik bagi menyalanya semangat perjuangan. Di era demokratis ini, gerakan perempuan harus ikut andil bagi pembangunan peradaban bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis,
Hiski, Darmayana. Sulami Sang Srikandi Merah. Di akses di http://www.berdikarionline.com/sulami-sang-srikandi-merah/ pada tanggal 4 desember 2016 pukul 18.00 WIB
Jorgansen, Marianne. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mulyanti, Yani. 25 Fakta tentang Gerwani. Diakses di http://www.berdikarionline.com/25-fakta-tentang-gerwani/ pada tanggal 4 desember 2016 pukul 18.31 WIB
Mursidah. 2012. Gerakan Organisasi Perempuan Indonesia Dalam Bingkai Sejarah. MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
Mustaqim.2011.Gerwani, Sejarah Gerakan Perempuan Yang Hilang PALASTRèN. Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Paramayana, Yuliana. Arjo Sutiyem Aktivis dan Korban 65 2011. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/arjo-sutiyem-aktivis-dan-korban-651 pada tanggal 4 Desember 19.09
Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani, Jurnal Imu Sosial dan Imu Politik, Vol. 10, No. 1, Juli 2006
Sundari, Akhiriyati. 2011. Gerwani dan Kepeloporan Perjuangan Politik Perempuan. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan pada tanggal 4 Desember 2016 Pukul 19.00
Sundari, Akhiriyati. 2011. Gerwani Pelopor Gerakan Perempuan Feminis Sosialis di Indonesia. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-pelopor-gerakan-perempuan-feminis-sosialis-di-indonesia Pada tanggal 4 Desember 2016 Pukul 19.17 WIB
Weringa,S.2010. Pasang Surut Gerakan Perempuan Indonesia. Perempuan dalam Relasi Agama dan Negara. Jakarta: Komnas Perempuan diakses di http://dare.uva.nl/search?metis.record.id+337342 pada tanggal 4 Desember 2016 Pukul 19.34 WIB
Wulan, Tyas Retno. 2008. Pemetaan Gerakan Perempuan Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Penguatan Public Sphere Di Pedesaan. YIN YANG Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2008 hlm 3
Yuliawati & Gilang Fauzi. 2016. Melacak Misteri di Balik Imajinasi Kengerian Gerwani. Diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930162353-20-162458/melacak-misteri-di-balik-imajinasi-kengerian-gerwani/ Pada tanggal 4 Desember Pukul 20.19 WIB
Yuliawati dkk. 2016. Lapisan Dusta dibalik Kekejaman Gerwani. Diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930103757-20-162339/lapisan-dusta-di-balik-legenda-kekejaman-gerwani/ pada tanggal 4 Desember 2016 pukul 20.20 WIB



[1] Wulan, Tyas Retno. 2008. Pemetaan Gerakan Perempuan Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Penguatan Public Sphere Di Pedesaan. YIN YANG Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2008 hlm 1
[2] Ibid hlm 2
[3] Wulan, Tyas Retno. 2008. Pemetaan Gerakan Perempuan Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Penguatan Public Sphere Di Pedesaan. YIN YANG Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2008 hlm 3
[4] Mustaqim.2011.Gerwani, Sejarah Gerakan Perempuan Yang Hilang PALASTRèN. Vol. 4, No. 2, Desember 2011 hlm 388
[5] Mustaqim.2011.Gerwani, Sejarah Gerakan Perempuan Yang Hilang PALASTRèN. Vol. 4, No. 2, Desember 2011 hlm 388-389
[6] ibid hlm 390
[7] Weringa,S.2010. Pasang Surut Gerakan Perempuan Indonesia. Perempuan dalam Relasi Agama dan Negara. Jakarta: Komnas Perempuan diakses di http://dare.uva.nl/search?metis.record.id+337342 hlm 28
[8] Suharko, Gerakan Sosial Baru di Indonesia: Repertoar Gerakan Petani, Jurnal Imu Sosial dan Imu Politik, Vol. 10, No. 1, Juli 2006 hlm 3
[9] Ibid hlm 3-4
[10] Mursidah. 2012. Gerakan Organisasi Perempuan Indonesia Dalam Bingkai Sejarah. MUWÂZÂH, Volume. 4, Nomor. 1, Juli 2012
[11] Marianne Jorgansen, Analisis Wacana: Teori dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 59
[12] Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 75
[13] Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm 76
[14] Marianne Jorgansen, Analisis Wacana: Teori dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 62
[15] Sundari, Akhiriyati. 2011. Gerwani dan Kepeloporan Perjuangan Politik Perempuan. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan
[16] ibid
[17] Sundari, Akhiriyati. 2011. Gerwani dan Kepeloporan Perjuangan Politik Perempuan. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan
[18]ibid
[19] Sundari, Akhiriyati. 2011. Gerwani dan Kepeloporan Perjuangan Politik Perempuan. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-dan-kepeloporan-perjuangan-politik-perempuan
[20] ibid
[21] Sundari, Akhiriyati. 2011. Gerwani Pelopor Gerakan Perempuan Feminis Sosialis di Indonesia. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/gerwani-pelopor-gerakan-perempuan-feminis-sosialis-di-indonesia
[22] Mulyanti, Yani. 25 Fakta tentang Gerwani. Diakses di http://www.berdikarionline.com/25-fakta-tentang-gerwani/
[23] Paramayana, Yuliana. Arjo Sutiyem Aktivis dan Korban 65 2011. Diakses di http://www.jurnalperempuan.org/blog2/arjo-sutiyem-aktivis-dan-korban-651
[24] Hiski, Darmayana. Sulami Sang Srikandi Merah. Di akses di http://www.berdikarionline.com/sulami-sang-srikandi-merah/
[25] Ibid Mulyanti, Yani,.....
[26] Hiski, Darmayana. Sulami Sang Srikandi Merah. Di akses di http://www.berdikarionline.com/sulami-sang-srikandi-merah/
[27] Mulyanti, Yani. 25 Fakta tentang Gerwani. Diakses di http://www.berdikarionline.com/25-fakta-tentang-gerwani/
[28] Weringa,S.2010. Pasang Surut Gerakan Perempuan Indonesia. Perempuan dalam Relasi Agama dan Negara. Jakarta: Komnas Perempuan diakses di http://dare.uva.nl/search?metis.record.id+337342 hlm 30
[29] Mulyanti, Yani. 25 Fakta tentang Gerwani. Diakses di http://www.berdikarionline.com/25-fakta-tentang-gerwani/
[30] Yuliawati & Gilang Fauzi. 2016. Melacak Misteri di Balik Imajinasi Kengerian Gerwani. Diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930162353-20-162458/melacak-misteri-di-balik-imajinasi-kengerian-gerwani/
[31] Yuliawati dkk. 2016. Lapisan Dusta dibalik Kekejaman Gerwani. Diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930103757-20-162339/lapisan-dusta-di-balik-legenda-kekejaman-gerwani/
[32] Mustaqim.2011.Gerwani, Sejarah Gerakan Perempuan Yang Hilang PALASTRèN. Vol. 4, No. 2, Desember 2011 hlm 390-391