BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abad
ke-21 menjadi era kebangkitan bagi kaum perempuan, hal ini dibuktikan dengan
banyaknya aksi pemimpin-pemimpin perempuan di seluruh penjuru bumi. Setidaknya,
hal inilah yang diungkap Majalah Forbes (6/9/2004) melalui risetnya terhadap
100 perempuan terkuat dan berpengaruh di dunia (The World Most Powerful Women). Dalam riset tersebut, dari 100
perempuan terkuat dan berpengaruh di jagat ini, terdapat 12 perempuan dari
kawasan Asia Pasifik yang berasal dari kalangan eksekutif dan politikus, serta
empat di antaranya masuk dalam kategori sepuluh besar (Asia’s Power Women). Peringkat tersebut diraih selain karena
popularitas, juga didasarkan pada titik kunci percaturan dunia, yakni menyoroti
perang melawan terorisme dan sumbangannya terhadap perekonomian global.
Sejak
masa pergerakan, beberapa perempuan terlibat secara aktif dalam dan tampil
sebagai pimpinan pemberontakan melawan penjajah. Jaman kaum perempuan bergerak
di Indonesia dibuka oleh pikiran R.A. Kartini sampai terbangunnya
organisasi-organisasi perempuan seperti Putri Mardika (1912), Jong Java
Meiskering, Wanita Oetomo, Wanito Muljo, serta Aisyiah (1917).
Pembentukan Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) pada Kongres
Perempuan I tahun 1928 bisa menjadi indikator kuatnya gerakan perempuan di masa
prakemerdekaan
dan gerakan wanita sedar (GERWIS) yang berganti nama menjadi Gerakan Wanita
Indonesia (GERWANI) 1950 serta Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), serta Kowani
dan Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Sebenarnya gerakan-gerakan
ini mempunyai peran yang cukup penting dalam merebut kemerdekaan dan mempunyai
relasi yang cukup baik dengan negara. Akan tetapi, tidak semua agendanya
diakomodasi oleh negara. Tuntutan penghapusan poligami misalnya, tetap
diabaikan. Hal ini merupakan konsekuensi subordinasi perjuangan gender
interest di bawah proyek nasionalisme yang harus ditanggung gerakan
perempuan. Padahal gerakan perempuan ini cukup gigih, militan, dan aktif
memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan usaha-usaha new
colonialism dan imperialisme. Begitu pula organisasi sosial keagamaan
lainnya seperti Fatayat (NU), Wanita Katholik, Aisyiah (Muhammadiyah) dan
sebagainya. Namun, sejak 1 Oktober 1995, sejarah panjang ini terputus dan
terjadi arus balik gerakan perempuan di Indonesia tatkala Gerwani dihancurkan
pada tahun 1965. Selanjutnya, organisasi perempuan seolah membisu, keberpihakan
kepada kaum lemah menguap begitu saja karena takut dicap sebagai “organisasi
kiri” yang diidentifikasikan dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang
“dianggap liar dan tak bermoral.
Gerwani
sebagai salah satu gerakan perempuan di Indonesia, yang notabene merupakan
negara Selatan mengadopsi konsep sosialis. Berbeda dengan gerakan perempuan di
negara–negara maju yaitu negara utara yang lebih mengusung feminisme radikal,
Gerakan perempuan negara-negara Selatan lebih berorientasi Sosislais. Biasanya
gerakan perempuan di negara-negara yang berada dalam proses perubahan sosialis
mendapatkan dukungan penuh dari seluruh aparat negara, seperti federasi
Perempuan Tiongkok di China
Gerwis atau gerwani memiliki tujuan bersama bagi
kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktek feodal. Semangat komunisme menjadi
basis perjuangan dalam membangun gerakan perempuan. Meskipun tidak semua
anggota mempunyai pemahaman tentang komunisme, namun tak jarang dari mereka
didukung oleh para suami yang mempunyai keanggotaan di PKI. Dalam konggres pada
Desember 1951 nama Gerwis kemudian diubah menjadi Gerwani. Hak perempuan dan
anak-anak menjadi tema konggres ini. Selain itu, peralihan nama menjadi Gerwani
semakin menjadikan Gerwani sebagai organisasi yang inklusif, semua agama,
sektarian boleh masuk ke wadah oraganisasi ini. Selanjutnya gerakan strategis
Gerwani sudah masuk pada kebijakan politis. Kritisi terhadap Undang-undang
Perkawinan yang dinilai lebih merugikan kaum perempuan mrnjadi arah strategi
organisasi. Selain itu resolusi Gerwani pada Konggres yang kedua tahun 1954
juga diarahkan pada upaya pemilihan umum (Pemilu), keamanan nasional dan protes
terhadap percobaan nuklir.
Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru,
membawa implikasi politik bagi gerakan komunisme. Isu pembantaian dan
pemberontakan yang ditujukan pada PKI menjadikan organisasi komunis ini sebagai
kambing hitam. Stigma penghianat pancasila dan pemberontak yang disandangkan
pada PKI, menjadikan PKI sebagai momok menakutkan. Kampanye kebiadaban PKI yang
digulirkan oleh Orde Baru merasuk sampai pada jiwa manusia Indonesia yang
paling dalam. Selain itu, PKI juga dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan
dengan perilaku seksual buruk perempuan komunis. Sehingga masyarakat hanya bisa
diselamatkan dengan pembersihan komunisme secara tuntas dan dengan menempatkan
kembali simbol perempuan pada posisi yang lebih rendah. Depolitisasi gerakan
perempuan pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan yang tanpa
kontrol hanya akan melahirkan perempuan-perempuan kejam biadab seperti gerwani.
Gerakan perempuan akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum
lemah lembut dan non-politis dilakukan di mana-mana,
sekiranya hal itulah yang ditanamkan orde baru. Orde baru menjadi masa stagnasi
bagi gerakan perempuan. Berbagai stigma dan prasangka disandangkan pada para
perempuan yang melampaui kodrat mereka sebagai wanita. Titik kulminasinya
adalah matinya gerakan perempuan dalam proses perjuangan dan emansipasi.
Gerakan-gerakan perempuan ini tidak terlepas dari
gerakan nasional. setiap partai dan organisasi nasional dari yang berhaluan
nasionalis, Islam hingga kiri membangun organ sayap peremouannya sendiri,
misalnya saja sarekat rakyat. Organisasi di era 1930-an cukup masif dalam
mengorganisir demonstrasi-demonstrasi politik buruh perempuan, menuntut
peningkatan upah, dan lain sebagainya. Salah satu diantara aksinya yang
fenomenal pada tahun 1926 disemarang menuntut perbaikin kondisi kerja buruh
perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Gerwani ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, maka Tujuan
Penelitian dalam penelitian ini mengetahui perjuangan yang dilakukan oleh Gerwani
1.4
Manfaat
Peneitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
·
Manfaat Teoritis
a. Bagi peneliti selanjutnya dapat digunakan sebagai
bahan referensi pada penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini.
b.
Bagi peneliti
sendiri merupakan hal yang sangat bermanfaat dalam menambah dan memperluas
pengetahuan tentang suatu kondisi pergerakan perempuan yaitu Gerwani. Sehingga
dalam hal ini peneliti tidak hanya sekedar asyik mebaca dan terbawa alur cerita melainkan mampu
menganalisa permasalahan yang ada dalam bacaan sesuai dengan perspektif
sosiologi.
·
Manfaat Praktis
a.
Dapat menjadi
masukan bagi masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan itu tidak layak
menduduki posisi yang setara dengan laki-laki untuk menafikan pemahaman
tersebut. Dengan begitu, masyarakat menjadi semakin kritis akan adanya
ketidaksetaraan hak kemanusiaan. Jadi, prinsip keterbukaan akses ruang publik
bagi perempuan dapat terbuka dengan seluas-luasnya.
b.
Bagi pemerintah
daerah dan instansi-instansi terkait khususnya yang bergerak di bidang
perempuan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan bagi
nasib perempuan. Harapannya nasib perempuan ke depan menjadi lebih mendapatkan
hak-hak kemanusiaannya dan menjadikan perempuan sebagai pihak yang perlu
mendapatkan perhatian khusus dalam mengoptimalkan pembangunan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Gerakan Sosial-Sydney Tarrow
Salah
satu teoritisi terkemuka Sydney Tarrow (1998), mendefinisikan bahwa gerakan
sosial adalah tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada tujuan-tujuan
bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para
elit, penentang dan pemegang kekuasaan.
Tarrow
(1998) menempatkan gerakan sosial di dalam kategori yang lebih umum tentang
politik perlawanan (contentius politics).
Politik perlawanan bisa mencakup gerakan sosial, siklus penentangan (cyclus of contention) dan revolusi.
Politik perlawanan terjadi ketika rakyat biasa bergabung dengan orang-orang
yang lebih berpengaruh, menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang
otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Perlawanan seperti ini biasanya muncul
ketika kesempatan dan hambatan politik tengah berubah dan menciptakan dorongan
bagi aktor-aktor sosial yang kurang memiliki sumber daya pada dirinya sendiri.
Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh
resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke
interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah
gerakan sosial.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Mursidah
Mahasiswa Program Magister Pendidikan IPS Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin dengan judul Gerakan
Organisasi Perempuan Indonesia Dalam Bingkai Sejarah berkesimpulan bahwa Kartini
mempunyai cita-cita untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan dan
kemiskinan. Pemikiran Kartini ini banyak mengilhami gerakan perjuangan
perempuan sesudahnya. Tercatat beberapa organisasi perempuan yang hadir pada
masa sebelum kemerdekaan Indonesia, antara lain Poetri Mardika (1912),
Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun-PIKAT (Manado,
1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo
(Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya,
1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe
Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924), Isteri Sedar
(Bandung, 1930). Namun, secara keseluruhan organisasiorganisasi ini masih
bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi perempuan itu bergelut mencari upaya
untuk memperbaiki keadaan kaum perempuan dan mengubah tatanan yang menyebabkan
kaum perempuan tertindas. Pasca kemerdekaan, berbagai organisasi perempuan
tumbuh, selain juga ada yang merupakan kelanjutan dari organisasi perempuan di
masa kolonial dan menjadi berkembang sesudahnya.
Gerakan feminisme telah mempopulerkan analisis
gender dalam mengamati berbagai fenomena sosial. Upaya membebaskan kaum
perempuan dari ketidakadilan merupakan perjuangan untuk menciptakan tatanan
masyarakat yang lebih demokratis dan egaliter. Sebab, hak-hak politik, sosial,
dan ekonomi perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh
kerangka hak asasi manusia, sehingga gerakan perempuan dapat berperan strategis
untuk menguatkan gerakangerakan perlawanan (gerakan sosial) masyarakat, sebagai
agen untuk memperjuangkan hak-hak demokratis, keadilan dan pembebasan rakyat.
Dalam menganalisis persoalan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan,
hendaknya tidak melihat bahwa laki-laki sebagai musuh perempuan, melainkan akar
permasalahannya.adalah patriarki sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan
yang dilanggengkan oleh sistem kapitalisme.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh mursidah
dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah, peneliti terdahulu meneliti tentang
gerakan perempuan yang ada sejak tahun 1912 hingga masa orde baru mulai
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah memfokuskan pada
Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani sejak masa orde lama hingga masa awal
orde baru.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
terdahulu dengan peneliti adalah sama-sama meneliti tentang gerakan revolusi
perempuan dari masa kemasa.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan petimbangan bahwasanya peneliti mencoba menjelaskan gambaran secara
menyeluruh tentang Gerakan Revolusi Perempuan yaitu Gerwani. Sehingga dengan
pendekatan ini mampu menjelaskan permasalahan tersebut dengan sedalam-dalamnya
melalui pengumpulan data yang berupa kata-kata dari berbagai sumber referensi
(literatur) yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
Penelitian kualitatif didasarkan dengan upaya
membangun pandangan objek yang diteliti, dirinci dan dibentuk dengan kata-kata
gambaran secara holistik dan rumit. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
faktor kedalaman dan kekayaan atas sebuah data yang diteliti pada beberapa
litertur sangat diperlukan. Penelitian ini tidak membutuhkan wawancara sehingga
kemampuan peneliti itu sendiri sangat diperlukan mengingat bahwa peneliti
adalah instrumen dalam penelitian ini. Jadi, pemanfaatan kekayaan data dari
sumber literutur sangat diperlukan.
Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif
berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama,
penelitian ditujukan untuk mencari dan memahami secara mendalam tentang
representasi feminismegerakan revolusi perempuan dalam hal ini difokuskan pada
Gerwani dalam memperjuangkan hak-hak yang telah diselewengkan di masa orde lama
hingga awal orde baru dengan segala keterbatasan kemampuannya. Kedua, berdasarkan mekanisme penelitian
yang dilakukan, yaitu berpijak pada data-data penelitian, kemudian disimpulkan.
Pada dasarnya jenis penelitian ini menggunakan
metode studi wacana yang berusaha memahami fenomena perilaku manusia melalui
sebuah rekaman-rekaman peristiwa yang tertulis dalam subuah karya. Dengan
penggunaan metode studi wacana, penelitian ini akan mampu mengungkap bagaiman
gerakan revolusi perempuan yaitu Gerwani untuk meperjuangkan hak-haknya yang
telah diselewengkan. Penelitian juga mampu memberikan kekayaan data melalui kekayaan
referensi (bacaan) yang digunakan dalam mengkaji topik yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan peneliti berdasarkan kebutuhan
dalam penganalisisan dan pengkajian objek yang diteliti. Pengumpulan data dalam
penelitian ini sudah dilakukan sejak peneliti menentukan masalah yang dikaji.
Pengumpulan data yang dilakukan adalah:
1. Penelitian
pustaka dengan mengkaji dan mempelajari berbagai literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori
permasalahan yang dikaji.
2. Penelusuran
data secara online, yaitu menelusuri
data dari media online seperti
internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data informasi online secepat dan semudah mungkin serta
dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Peneliti memilih sumber-sumber
data online yang kredibel dan dikenal
banyak kalangan.
4.3 Teknik Analisis Data
Analisis data
yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah analisis wacana yang
dikembangkan oleh Sara Mills. Mills berbeda dengan analisis dari tradisi critical
linguistic yang memusatkan perhatian pada struktur kata, kalimat atau
kebahasaan, tetapi melihat bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan atau
peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana yang mempengaruhi
pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Dengan kata lain Sara Mills melihat
posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, posisi-posisi ini dalam arti siapa
yang menjadi subjek penceritaan dan yang menjadi objek penceritaan akan
menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks
secara keseluruhan.
Selain posisi
aktor atau posisi subyek-obyek, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada
bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Mills menganggap pembaca
merupakan bagian penting yang mempengaruhi teks. Pembaca tidak dianggap sebagai
yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana yang
terlihat dalam teks.
Dalam membangun
teorinya mengenai posisi pembaca Mills memakai analisis Althusser. Gagasan
Althusser menempatkan posisi pembaca yang dihubungkan dengan bagaimana
penyapaan penyebutan yang dilakukan dalam teks. Ini akan membantu peneliti
dalam memaknai teks, produksi dari teks, dan pemaknan yang disesuaikan dengan
tingkat posisi subjek-objek dalam teks dan posisi penulis serta pembaca.
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Berdirinya Gerwani
Sejarah berdirinya gerwani diwarnai
dengan proses yang panjang dalam kurun waktu 4 hingga 5 tahun sejak organisasi
Gerwis pertama kali berdiri sebelum kemudian bermetamorfosis menjadi Gerwani.
Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di
Semarang, sebuah kota yang secara historis memiliki ‘nilai’ lantaran PKI
didirikan di kota ini. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk membuat
organisasi perempuan bersama yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam
organisasi yang mendirikan Gerwis adalah Rukun Putri Indonesia (Rupindo,
Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Isteri Sedar (Bandung), Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan
Putri Republik Indonesia (Pasuruan). Para pendiri Gerwis ini berasal dari latar
belakang sosial berbeda, bahkan banyak di antaranya dari keturunan priayi
rendah. Terdapat pula beberapa orang yang pernah ambil bagian dalam gerakan
bawah tanah dengan ilham komunisme. Semua pendiri ini adalah para perempuan
yang terjun dalam gerakan nasional, bahkan banyak diantaranya yang
menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pertemuan tersebut disepakati
ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar
Wanita Jawa Tengah.
Konstitusi yang dirumuskan Gerwis
adalah menegaskan diri sebagai organisasi non politik dan tidak berafiliasi
dengan partai politik manapun. Namun, secara tak langsung PKI memiliki pengaruh
yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis. Tetapi,
keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab
berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya
kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar
berdirinya Gerwis.
Kongres pertama Gerwis berada dalam
masa yang sulit mengingat beberapa anggotanya masih berada dalam penjara. Dalam
kesempatan ini, komponen komunis dan feminis bercampur dalam satu organisasi,
lalu beberapa langkah diambil untuk mengucilkan sayap feminis sebagaimana
direpresentasikan oleh S.K. Trimurti (istri dari Sayuti Melik, tokoh penting
dalam Proklamasi Kemerdekaan 1845, yaitu pengetik naskah Proklamasi). Trimurti
mengundurkan diri dari pencalonan, 1957 ia menarik diri dari jajaran pimpinan, 1965
ia keluar dari keanggotaan.
Kongres kedua Gerwis pada tahun
1954 mengubah dirinya menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih
Umi Sarjono yang juga merupakan anggota PKI sebagai ketuanya. Perkembangan
pesat tampak mencolok. Di Surabaya, Gerwis memiliki 40 cabang dengan
6.000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah mencapai 80.000 orang.
Dalam hal ini ada arah yang berubah dari Gerwani, yakni dari organisasi kader
menjadi organisasi massa. Tawaran dilakukan kepada kaum perempuan untuk menjadi
pemimpin tanpa memandang latar belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita
Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya berasal dari keluarga Pamong
Praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil
merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai
satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari.
Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar
organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas
permasalahan yang terjadi sehari-hari.
Gerwani ingin mengubah dirinya
betul-betul menjadi organisasi massa dengan skala nasional lebih luas. Untuk
itu Gerwani memfokuskan diri pada bagaimana memimpin gerakan yang lebih luas,
membangun gerakan massa sebagaimana garis PKI dalam emansipasi perempuan yang
merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah
spesifik tentang urusan perempuan. Gerwani juga merambah partisipasi dalam
politik nasional seperti terlibat dalam Trikora, perang memperebutkan Irian
Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu.
Dari sini mulai ditemukan titik
jelas bahwa Gerwani sebagai organisasi pergerakan perempuan yang memiliki
militansi kuat di antara pengikutnya. Hal tersebut juga tak bisa dilepaskan
dari ideologi yang mewarnai garisnya. Feminisme, sosialisme, dan nasionalisme. Gerwani
membuat rumusan bagaimana kondisi perempuan kala itu yang “setengah kolonial
setengah feodal” sesungguhnya adalah gerakan perempuan yang independen tidak
berafiliasi atau menjadi underbouw partai politik manapun dukungan PKI
sangat kuat didalamnya. Bahkan, periode antara kongres pertama dan kedua itulah
Gerwani dapat dikatakan walaupun paling menampakkan ideologi feminisnya.
Sementara pada ranah Sosialis jelas sekali bagaimana Gerwani mampu kerjasama
dan mengorganisir dirinya dengan BTI dan SOBSI untuk menuntaskan kasus-kasus
upah rendah di kalangan buruh perempuan. Pada pandangan politik secara umum terberbingkai
nasionalisme.
4.2 Perjuangan Gerwani
Banyak hal yang diperjuangkan oleh gerwani seperti tuntutan
untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan yang pada waktu itu dirasakan diskriminatif
menjadi demokratis terus diperjuangkan. Selain itu Gerwani juga berada di garda
depan dalam merumuskan garis perjuangan menuntut upah yang adil bagi buruh
perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik, menuntut penyediaan lapangan
pendidikan yang baik bagi perempuan, menuntut pemberian fasilitas penitipan
anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus perkosaan, trafficking,
serta merumuskan pembagian kerja yang adil antara suami dan istri di dalam
rumah tangga.
Gerwani juga mengadvokasi seorang perempuan bernama Maisuri, yang dipenjara
karena menolak kawin paksa dan memilih lari dengan pacarnya. Gerwani juga mengecam
dan mengusut tuntas kasus pembunuhan Attamini, seorang perempuan dari keluarga
miskin di Malang, oleh seorang pedagang kaya keturunan Arab.
Gerwani juga melakukan gerakan pengentasan buta huruf dengan mendirikan
sekolah-sekolah untuk perempuan yang belum bisa membaca. Dan untuk
keberlangsungan organisasi, anggota yaitu para perempuan yang tergabung dalam
Gerwani setiap bulan melakukan arisan dan iuran wajib untuk mendanai segala
aktivitasnya.
Dalam memperjuangkan pembebasan wanita Indonesia dari segala belenggu
penindasan yang ada, Gerwani mengeluarkan beberapa sikap politik seperti
menolak poligami, menolak perkawinan dibawah umur, menolak kekerasan seksual
terhadap wanita serta memperjuangkan hak waris bagi wanita. Terkait masalah
poligami, Gerwani juga turut membantu program PKI, untuk menyelesaikan beragam
problema seiring dengan perintah partai kepada seluruh fungsionaris dan
kadernya yang berpoligami untuk mengakhiri pernikahan poligaminya jika
ingin tetap bergabung dalam partai. Sama dengan Gerwani, PKI juga menolak
poligami dan melarang keras anggotanya berpoligami. Mereka menganggap poligami
sebagai cerminan dari sisa budaya feodal yang menindas kaum wanita.
Gerwani juga aktif menentang pornografi dan memboikot film-film yang
merendahkan martabat perempuan. Pada tahun 1950-an, Gerwani aktif berkampanye
menentang film-film yang mempromosikan kebudayaan imperialis, terutama
film-film Amerika Serikat (AS). Salah satu film yang diprotes berjudul Rock
‘n Roll, yang dianggap bisa meracuni pikiran anak-anak muda. Film lain yang
diprotes seperti Rock Around the Clock (1956) dan Don’t
Knock the Rock. Selanjutnya, dalam kerangka melawan kebudayaan imperialis,
Gerwani mendukung berdirinya Lembaga Film Rakyat.
Gerwani juga turut mendukung secara langsung perjuangan kaum tani dalam
mempertahankan hak-haknya atas tanah dari pencaplokan yang dilakukan aparat
negara dan perusahaan perkebunan, seperti pada kasus Tanjung Morawa,
Sumatera Utara (1955) dan kasus Jengkol, Kediri (1957). Dalam berbagai konflik
agraria itu, beberapa pengurus Gerwani terlibat langsung dalam perlawanan kaum
tani di lapangan.
Pada tahun 1957, Gerwani aktif mendukung gerakan buruh untuk
menasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan milik Belanda. Langkah
ini sekaligus upaya pemerintahan pada masa orde lama yang di pimpin oleh
soekarno untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial. Dalam kampanye
nasionalisasi terhadap perusahaan minyak Caltex, Gerwani menggalang pembantu
rumah tangga untuk memboikot majikan mereka. Aksi itu meluas ke restoran dan
toko-toko untuk menolak melayani orang asing. Disamping itu Gerwani aktif
menentang pemberontakan PRRI/Permesta, yang dibelakangnya adalah kepentingan
imperialisme AS. Bagi Gerwani, meneruskan revolusi berarti melawan
PRRI/Permesta. Pada tahun yang sama yaitu 1957, Gerwani mendukung aktif
perjuangan bangsa Indonesia untuk mengusir kolonialisme Belanda di Irian Barat.
Gerwani bahkan mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawati untuk pembebasan
Irian Barat. Tak hanya itu, Gerwani memobilisasi 15.000 wanita ke Istana
Negara, saat peringatan Hari Perempuan Sedunia, 1 Maret 1961, untuk menentang
pembentukan negara boneka Papua oleh kolonialis Belanda. Sekitar dalam kurun
tahun 1960-an, Gerwani berkampanye untuk ketersediaan pangan dan sandang bagi
rakyat. Tak hanya itu, gerwani rajin melakukan aksi demonstrasi untuk menentang
kenaikan harga bahan pokok. Salah satu demonstrasi besar yang digalang Gerwani
untuk menolak kenaikan harga terjadi pada tahun 1960. Pemerintah orde lama
merespon aksi tersebut dan berjanji menurunkan harga dalam tiga tahun.
Pada
tahun selanjutnya yaitu tahun 1961, anggota organisasi Gerwani mencapai lebih
dari satu juta orang. Warung-warung koperasi dan koperasi simpan-pinjam
kecil-kecilan didirikan. Perempuan tani dan buruh disokong dalam sengketa
mereka dengan tuan tanah atau majikan pabrik tempat mereka bekerja. Taman
kanak-kanak diselenggarakan di pasar-pasar, perkebunan-perkebunan,
kampung-kampung. Kaum perempuan dididik untuk menjadi guru pada sekolah-sekolah
ini. Dibuka pula badan-badan penyuluh perkawinan untuk membantu kaum perempuan
yang menghadapi masalah perkawinan. Kursus-kursus kader dibuka pada berbagai
tingkat organisasi dan dalam kursus-kursus ini digunakan buku-buku tulisan
Friedrich Engels, August Bebel, Clara Zetkin, dan Soekarno. Pada kesempatan ini
juga diajarkan keterampilan teknis misalnya tata buku dan manajemen. Hal
penting lain yang diajarkan adalah sejarah gerakan perempuan Indonesia.
Tahun 1962,
Gerwani mendukung politik Bung Karno untuk mengganyang negara boneka bentukan
Inggris di Malaya, yakni federasi Malaysia. Tak hanya berkampanye dan menggelar
aksi demonstrasi, Gerwani juga menyetorkan anggotanya untuk menjadi
sukarelawati dan dipersiapkan untuk dikirim dalam operasi Trikora. Selain itu Gerwani
aktif berkampanye untuk pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Gerwani
menuding korupsi sebagai salah satu biang kerok kenaikan harga-harga. Beberapa
aksi demonstrasi yang digalang Gerwani berisi tuntutan penghapusan korupsi
dan retoolingaparatur negara. Dalam hal kesetaraan gender di bidang
politik Gerwani berkampanye tentang perlunya gerakan politik perempuan dan
mendorong perempuan masuk ke gelanggang politik. Gerwani berharap lebih banyak
wanita yang menjadi anggota DPR dan DPRD, kepala desa, Bupati, Gubernur,
Menteri, dan lain-lain. Pada pemilu 1955, sejumlah pimpinan Gerwani masuk
daftar calon anggota DPR melalui PKI, seperti Salawati Daud, Suharti Suwarto,
Ny. Mudigdo, Suwardiningsih, Maemunah, dan Umi Sardjono. Gerwani aktif dalam
Gerakan Perempuan Internasional, khususnya melalui Gerakan Wanita Demokratis
Sedunia (GWDS). Melalui GWDS, Gerwani berkampanye tentang penghentian
perlombaan persenjataan, pelarangan percobaan senjata atom, mempromosikan
perdamaian dunia dan menentang perang, mendukung Konferensi Asia Afrika,
penghapusan apartheid, penghapuasan diskriminasi rasial dan fasisme, dan
mengecam agresi imperialis di berbagai negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja,
dan lain-lain. Gerwani mendukung konsep Bung Karno mengenai Demokrasi
Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Dekrit Presiden Soekarno untuk
kembali ke UUD 1945.
4.3 Pembubaran Gerwani
Beberapa hari setelah meletus peristiwa G30S, harian
militer Berita Yudha memajang kliping penggalan koran sayap kiri. Koran sayap
kiri seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti dan Suluh Indonesia ketika itu memuat
berita yang berseberangan dengan versi media militer. Harian Rakyat edisi
2 Oktober berjudul Letkol Untung, Komandan Bataljon Tjakrabirawa
menyelamatkan Presiden dan RI dari kup Dewan Djendral. Judul hampir
serupa juga dimuat Warta Bhakti terbitan 1 Oktober. Tiga hari setelah terbitan
Berita Yudha, muncul instruksi Menteri Penerangan Mayor Djenderal Achmadi yang
melarang penerbitan surat kabar yang dianggap kiri terhitung 6 Oktober 1965.
Media yang dilarang adalah Harian Rakyat, Warta Bhakti, dan Suluh Indonesia.
Sejak saat itu, pemberitaan media massa dikuasai oleh tulisan tentang stigma
kengerian Gerwani yang diawali laporan dari harian Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha.Beberapa pemberitaan media massa kala itu berbunyi, “Matanya
dicungkil.” (Angkatan Bersenjata, 6 Oktober 1965), “Ada yang dipotong
tanda kelaminnya.” (Berita Yudha,
10 Oktober 1965).
Selain itu ada lagi propaganda yang dilakukan dengan menyebut bahwa gerwani
telah melakukan tarian harum bunga. Tarian harum bunga merupakan propaganda
yang disebarkan secara resmi oleh aparat. Propaganda ini tersebar luas
berbarengan dengan gerwani disebut menyiksa tujuh perwira angkatan darat dengan
menusuk-nusuk mereka dan menyileti alat vitalnya.
Sejak pergantian rezim dari Orde Lama
ke Orde Baru, sangat mengimplikasi politik bagi gerakan komunisme. Isu
pembantaian dan pemberontakan yang dialamatkan pada PKI menjadikan organisasi
komunis ini sebagai kambing hitam. Stigma penghianat pancasila dan pemberontak
yang disandangkan pada PKI, menjadikan PKI sebagai partai terlarang. Selain
itu, PKI juga dikaitkan dengan kekacauan yang dilambangkan dengan perilaku
seksual buruk perempuan komunis. Sehingga masyarakat hanya bisa diselamatkan
dengan pembersihan komunisme secara tuntas dan dengan menempatkan kembali
simbol perempuan pada posisi yang lebih rendah. Depolitisasi gerakan perempuan
pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan yang tanpa kontrol
hanya akan melahirkan perempuan-perempuan kejam biadab seperti gerwani. Gerakan
perempuan akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum lemah lembut
dan non-politis dilakukan di mana-mana. Pemerintah melalui figur Soeharto,
ditampilkan sebagai satu-satunya kekuatan tunggal yang mampu memulihkan dan
memelihara ketertiban masyarakat. Hal ini dilanggengkan dengan cara
mereproduksi secara terus menerus mitos binatang komunis yang sesat.
Subordinasi perempuan berupa penggambaran perilaku perempuan yang ”patut”,
menjadi pilar masyarakat orde baru di mana Gerwani digambarkan dengan perilaku
tanpa aturan dan merusak moral. Pada dataran inilah, politik hegemoni kekuasaan
bermain.
4.4 Analisis Teori
Dalam
teori gerakan sosial yaitu tantangan-tantangan kolektif yang didasarkan pada
tujuan-tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang
berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang kekuasaan. Gerwani
melakukan gerakan sosial yang didasarkan atas tujuan bersama dan solidaritas
sesama perempuan. Tujuan bersama itu muncul ketika timbul perasaan
terintimidasi yang dialami oleh kaum perempuan. Maka dari itu Gerwani sering
kali menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa pada saat itu Orde Lama
karena tidak pro terhadap perempuan.
Tarrow
menempatkan gerakan sosial di dalam kategori yang lebih umum tentang politik
perlawanan (contentius politics).
Politik perlawanan bisa mencakup gerakan sosial, siklus penentangan (cyclus of contention) dan revolusi.
Politik perlawanan terjadi ketika rakyat biasa bergabung dengan orang-orang
yang lebih berpengaruh, menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang
otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Meskipun Gerwani menyatakan dirinya
bukan organisasi politik namun banyak perjuangannya yang berhubungan dengan
politik Indonesia pada masa itu. Gerakan perlawanan juga banyak dilakukan
Gerwani dalam memperjuangkan hak perempuan dan bersifat revolusioner.
Perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerwani berasal dari berbagai macam
kalangan. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan
digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik
perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan,
dan hasilnya adalah gerakan sosial. Gerwani yang merupakan underbow dari PKI
tentu banyak mendapat dukungan dari PKI selain itu Gerwani juga mendapat
dukungan penuh dari Soekarno sebagai presiden pada masa Orde Lama.
4.5
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Gerwani merupakan organisasi perempuan
yang muncul pada tahun 1950-an. Gerwani bergerak dalam berbagai bidang mulai
dari pendidikan seperti membantu perempuan-perempuan terutama yang tinggal di
pedesaan agar mendapat pendidikan hingga kasus pelecehan terhadap perempuan
serta kesetaraan gender dalam hal apapun. Gerwani merupakan organisasi underbow dari PKI yang juga didukung
oleh soekarno. Sejak bergantinya Orde Lama ke Orde Baru PKI dan segala hal yang
berhubungan dengan PKI di musnahkan sehingga secara otomatis Gerwani juga di
musnahkan karena PKI dan hal yang berhubungan dengan PKI juga dianggap sebagai
penghianat pancasila.
Relasi gender di Indonesia kemudian
ditata secara kasar. Perjuangan gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan
dalam politik serta menyerukan simbol perempuan sebagai “Srikandi” dianggap
sebagai sesuatu yang melanggar kodrat perempuan. Perempuan kemudian
dikembalikan pada wilayah domestik rumah tangga. Dengan regulasi secara sosial dan
norma, perempuan digiring untuk tidak ikut campur pada ranah publik dan
politik. Orde baru menjadi masa stagnasi bagi gerakan perempuan. Berbagai
stigma dan prasangka disandangkan pada para perempuan yang melampaui kodrat
mereka sebagai wanita. Berbagai gerakan perempuan, gerakan subversif
diberangus. Titik ini merupakan matinya gerakan perempuan dalam proses
perjuangan dan emansipasi. Era reformasi sudah semestinya menjadi momentum bagi
gerakan perempuan untuk bangkit dan berjuang. Keterbukaan dan kebebasan dalam
segala aspek, menjadi pemantik bagi menyalanya semangat perjuangan. Di era
demokratis ini, gerakan perempuan harus ikut andil bagi pembangunan peradaban
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Wulan, Tyas Retno. 2008. Pemetaan Gerakan
Perempuan Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Penguatan Public Sphere Di
Pedesaan. YIN YANG Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2008 hlm 1
Mustaqim.2011.Gerwani,
Sejarah Gerakan Perempuan Yang Hilang PALASTRèN. Vol. 4, No. 2,
Desember 2011 hlm 388
Mulyanti, Yani. 25 Fakta tentang Gerwani.
Diakses di http://www.berdikarionline.com/25-fakta-tentang-gerwani/
Hiski, Darmayana. Sulami Sang Srikandi
Merah. Di akses di http://www.berdikarionline.com/sulami-sang-srikandi-merah/
Yuliawati & Gilang Fauzi. 2016. Melacak
Misteri di Balik Imajinasi Kengerian Gerwani. Diakses di
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930162353-20-162458/melacak-misteri-di-balik-imajinasi-kengerian-gerwani/
Yuliawati dkk. 2016. Lapisan Dusta
dibalik Kekejaman Gerwani. Diakses di
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160930103757-20-162339/lapisan-dusta-di-balik-legenda-kekejaman-gerwani/